DITERIMA kabar duka pada 26 Desember 2004: Telah terbang ribuan nyawa, telah
hilang berlaksa jiwa, lesap disapu bencana. Mari menundukkan kepala, berdoa
untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga untuk jiwa-jiwa yang kehilangan. Di sekotah
tanah kekasih, kesedihan menggelombang, seperti laut yang mengamuk. Di sekujur
negeri kesayangan, hati menggeletar, seperti ledakan gempa.
Didengar dan disaksikan kabar duka lewat televisi, radio, koran, pembicaraan
mulut ke mulut, dan ratusan juta penghuni bumi menangis, mencucurkan luka dari
setiap dada yang menggelepar diaduk kesedihan.
Seorang perempuan muda menangis ketika menonton televisi. "Mengerikan,
ini mengerikan sekali. Hentikan... berhentilah mempertontonkan luka ini,"
isaknya entah kepada siapa, memukul-memukul kepalanya dengan kepalan tangan
yang begetar. Tapi televisi makin buas menyodorkan airmata, tangisan, jeritan,
mayat, serpih-serpih kehancuran. Hati perempuan itu remuk, lumat. Ia tak tahan.
Ia mengerang sambil berlari ke belakang rumah, mengambil balok kayu, lalu
menghantam layar televisi dengan sangat keras. "Braak..." Televisi
hancur. "Tak pantas luka ini dipertontonkan," katanya dengan suara
yang tersiksa. Perempuan muda itu tiba-tiba menjadi benci pada televisi, juga
orang-orang yang muncul dan berlintasan di dalamnya.
Tetapi, untuk bisa terus-menerus memantau perkembangan duka, perempuan itu
harus mengikuti berita. Maka ia beralih ke surat kabar. Ia membaca surat kabar
dengan airmata bercucuran. Ia membaca surat kabar dengan tangan dan tubuh
bergetar. Ia membaca surat kabar dengan hati yang terhantam.
"Bangsat," perempuan itu berteriak, "Ini bukan berita duka. Ini
tulisan sensasional." Ia mencabik-cabik surat kabar hingga menjadi
serpihan-serpihan kecil dan menghamburkannya ke selokan di depan rumahnya.
"Enyahlah kalian, wahai iblis-iblis laknat. Tak pantas luka dikomodifikasi
untuk meraup keuntungan." Perempuan itu benci pada surat kabar, juga
orang-orang yang sedang bertukang di dalamnya.
Diterima dan disaksikan kabar duka yang menggeletar dari menit ke menit,
menguras airmata. Perempuan muda itu terus-menerus mengamati perkembangan luka.
Ia mendengarkan radio. Setiap berita yang dihadirkan selalu disimaknya dengan
penuh khusyuk, seperti sedang berdoa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga bagi
jiwa-jiwa yang kehilangan. Tapi, lagi-lagi amarahnya meledak.
"Bedebah," katanya seraya membanting radio ke lantai, "Kalian
kira orang-orang senang mendengar suara kalian pada saat-saat sedih seperti
sekarang." Perempuan itu merasa, pembaca berita hanya tampil untuk
menonjol-nonjolkan suranya yang bagus, mendayu-dayu di antara jeda kata, tanpa
sedikit pun menguarkan suasana sedih. Ia benci radio dan suara-suara yang
melacurkan diri di dalamnya.
Diterima kabar duka yang beredar meremuk jiwa. Perempuan itu turun ke
jalan-jalan, berbicara dan mengajak orang-orang menangis. Ia meneriakkan
puisi-puisi keprihatinan, menyenandungkan tembang-tembang ngilu, menerbangkan
ratapan ke angkasa, agar burung-burung mendengar, agar kupu-kupu menangis.
"Mari, Saudara-saudara," ratap perempuan itu, "Kita berikan apa
yang bisa kita berikan. Kita kuatkan saudara-saudara kita."
Tapi ia menemukan hanya sedikit saja orang yang bersedih. Hanya beberapa
gelintir yang benar-benar prihatin. Selebihnya adalah sosok-sosok yang
terperangah, takjub dan terhibur menyaksikan perkembangan duka.
"Dasyat," kata seseorang ketika melihat rekaman luka di sebuah
televisi. Ombak bergulung dari dari arah laut, menghempas dan
menerjang-nerjang, kota-kota di sepanjang pantai ambruk.
"Luar biasa," kata yang lain menyaksikan ribuan mayat teronggok.
"Ini baru seru, akan tercatat sebagai rekor terdasyat dalam
sejarah."
"Tontonan yang sangat menarik."
"Tuhan memang luar biasa."
"Tuhan murka."
Dan telinga perempuan itu serasa ingin meledak ketika mendengar
ucapan-ucapan itu berdentam. Ia tidak melihat garis kesedihan mencuat pada
wajah-wajah. Ia tidak melihat airmata duka mengalir dari mata mereka. Dan
ketika perempuan itu singgah di lepau, kedai kopi, dan warung-warung, ia
mendengar lelaki-lelaki kuli, pemabuk dan para penjudi sedang ribut
mempersoalkan angka berapa kira-kira yang diisyaratkan peristiwa itu. Mereka
akan menukarnya dengan kupon-kupon togel. "Anjing kalian," kata
perempuan mencopoti seluruh pakaiannya, dan menari-nari. Para lelaki kuli,
pemabuk dan penjudi itu berlarian, hambur seperti diterjang gelombang.
Diterima dan disaksikan kabar duka pada 26 Desember 2004. Perempuan itu
terus-menerus mengurai tangis, seperti tak akan habis air hati dari matanya.
Seperti tak akan lelah jiwa dan rongga dadanya meratap. Dari hari ke hari ia
tak berhenti merintih, melantunkan puisi-puisi pilu, mendendangkan
tembang-tembang ngilu.
Dan, setelah beberapa hari meratap seperti orang gila, perempuan itu
akhirnya bunuh diri, tepat pada pukul 00.00 penghujung tahun. "Selamat
tinggal, saudara-saudara, aku akan pergi menemui luka."
Orang memakamkan jenazahnya dengan segudang ucapan.
"Darahnya bukan Aceh, tapi ia telah gila dan bunuh diri karena tak
tahan menyaksikan duka Aceh," kata seseorang terbata-bata.
"Duka ini duka kita semua."
"Dia gadis cantik yang masih muda. Orang berjiwa seperti dia sangat
dibutuhkan untuk menata negeri ini di masa depan. Sayang sekali dia
meninggal."
"Rasa kebersamaanya luar biasa hebat, patut kita panjatkan hormat
kepadanya."
"Ah, kenapa dia selemah itu. Harusnya dia lebih kuat," kata
seseorang dengan ketus.
"Memangnya kenapa?" Seseorang yang lain bertanya.
"Lucu aja. Orang yang kehilangan seluruh keluarganya aja bisa tabah,
nggak gila dan bunuh diri kayak dia."
Diterima dan disaksikan kabar duka yang menyebar meremuk jiwa. Dan, tiada
seorang pun yang tahu mengapa perempuan itu gila lalu bunuh diri. Yah, tiada
seorangpun yang tahu sebusuk apa nanah luka di dada perempuan itu, tiada
seorang pun yang tahu, kecuali aku. Dan aku, aku tidak sanggup mengisahkannya
kepadamu. Tapi karena telah kita terima kabar duka yang menyayat jiwa, aku
ingin menghiburmu, ingin menghibur diriku dengan berkisah tentang perempuan
lain, perempuan yang kukasihi. Mengapa harus perempuan lain? Mengapa tidak
perempuan itu? Sesuka hatimulah, kau boleh menuduhku gila. Aku sedang sedih.
Umi nama kekasihku itu. Ia tidak memiliki ayah, tidak memiliki ibu, tidak
memiliki saudara. Ayahnya mati sebagai salah satu korban DOM. Ibunya mati
digerogoti kesedihan, tak tahan membayangkan kepala suaminya pecah diberondong
peluru. Adiknya, adik lelakinya yang manis, tewas pada suatu hari di gedung
sekolahnya yang terbakar. Pagi menjelang siang itu, gerombolan tentara
tiba-tiba diserang pasukan tak dikenal. Tembak-menembak terjadi dengan sangat
mengerikan. Beberapa aparat pemerintah tewas dan berakhir di tempat. Komandan
regu murka, ia perintahkan anak buahnya membakar desa, menghancurkan segala
yang ada dengan alasan bahwa penduduk setempat telah memberi tempat bagi para
pemberontak. Penduduk desa kocar-kacir. Banyak yang tewas dihantam peluru dan
hanya beberapa yang selamat, dan salah satunya adalah Umi. Seusai insiden, ia
menguburkan mayat adiknya di belakang rumah, lalu pergi ke tempat yang jauh.
"Aku datang ke kota ini karena di sini aku punya seorang paman,"
katanya kepadaku. Ia menangis waktu itu. "Sekarang sudah kau tahu, aku
tidak lagi memiliki siapa-siapa di dunia ini kecuali pamanku. Jadi, tentang
sikapku yang sangat pendiam dan selalu murung, jangan kau tanyakan lagi.
Sekarang, kau sudah tahu alasannya. Dan ingat, aku tidak pernah bisa sanggup
menceritakan hal ini kepada siapapun. Aku tidak pernah sanggup," katanya
terbata-bata, dan airmata mulai menetes dipipinya, "Aku menceritakannya
kepadamu karena aku mencintaimu. Kau telah membuatku kuat."
Sejak menceritakan itu, Umi mulai bisa tertawa, bergaul dengan
teman-temannya secara lebih wajar. Ia ternyata sangat menyenangkan. Tawanya
renyah. Tingkahnya lucu. Aku bahagia melihat perubahannya. Tapi, aku juga
menjadi sering kesal karena waktunya semakin berkurang kepadaku. Aku seperti
kehilangan sesuatu yang sangat kusuka dari dirinya. Yah, terus terang, aku
jatuh cinta kepadanya karena prilakunya yang aneh. Pada saat pertama kali ia
tiba di kota ini, aku sering melihatnya merenung pada pagi hari di serambi
rumah pamannya. Lalu, seperti takjub pada biru langit, ia seringkali
berlama-lama memandang langit, tengadah dengan wajah tersenyum. Dan pada senja
hari, ia melakukan hal sama. Sesekali ia juga menyanyikan lagu-lagu sedih
dengan suaranya yang sangat merdu. Aku mengira ia gila pada awalnya, tapi
setelah suatu kali aku menyapanya dan ia menjawab dengan sangat sopan, aku tahu
bahwa ia adalah gadis yang tak biasa. Aku jatuh hati kepadanya. Sejak itu, aku
mulai sering berkunjung ke rumah itu, yang jaraknya memang tidak terlalu jauh
dari rumah kami. Pamannya sangat senang dan suatu kali berkata kepadaku, "Nak,
kehadiranmu membuatnya lebih bahagia."
Tak berapa lama kemudian, ia masuk ke sebuah akedemi perawat. Bagaimanapun,
kata pamannya, ia harus mempersiapkan masa depannya. "Saya sudah tua,
sebentar lagi akan pensiun. Kelak, dengan bekal ilmu yang diperolehnya, ia bisa
menata dan mempersiapkan hidupnya," kata pamannya waktu itu.
Dan setahun yang lalu pamannya benar-benar pensiun. Dan pada suatu malam aku
diundang pamannya ke rumah mereka. "Nak, saya sudah pensiun. Kami
sekeluarga punya rencana untuk kembali ke Banda Aceh," kata pamannya
memulai, "Nanti setelah kau tua, kau akan tahu bahwa usia uzur seringkali
membuat kita rindu pada kampung halaman. Saya dan keluarga mungkin akan lebih
merasa damai jika tinggal di sana. Lagipula, anakku satu-satunya itu sudah
berada di sana sejak beberapa tahun yang lalu. Seperti kau tahu, aku bersyukur
sekali atas pilihannya menjadi seorang pendidik di sana. Jadi, karena Umi belum
selesai kuliahnya, kutitipkan ia padamu. Ia akan tetap tinggal di rumah ini.
Kelak, jika ia memutuskan kembali ke Aceh, rumah ini kami jual. Tapi jika
tidak, biarlah rumah ini untuknya."
Pada saat itu aku bergetar menyadari kebaikan hati pamannya. Dan ketika
mereka berangkat, aku menangis dan tiba-tiba menjadi sadar bahwa aku sudah
sejak lama menjadi bagian keluarga itu. Aku benar-benar menangis.
Dan kini, diterima dan disaksikan kabar duka yang bergetar meremuk jiwa.
Seorang perempuan muda meratap berhari-hari dan akhirnya bunuh diri tepat pada
detik-detik pergantian tahun. Perempuan muda itu adalah Umi, kekasihku.
Diterima dan disaksikan kabar duka yang menyebar menyiksa jiwa. Aku ingin
bunuh diri.
Sore itu, ruang pengantin telah lengang. Ranjang perlahan-lahan mendingin.
Pacu birahi padam. Lelaki yang dipanggil "Mas" itu menatap Dhesi,
istrinya. Hujan di luar masih turun. Hening. Waktu berbenturan di setiap sudut
ruangan. Selebihnya diam. Mereka berdua kembali mengenang percintaan yang baru
saja selesai.
Sisa dingin dari hujan seperti berjingkat kecil, pelan-pelan, seperti
langkah yang berjinjit. Hanya suara angin yang berdesir, mengatup semua bulir.
Di tubuh sepasang pengantin itu, masih ada sisa peluh yang menetes, merayap,
jatuh ke tempat yang paling rendah. Lelaki itu menatap peluhnya sendiri, yang
mengingatkannya pada pelajaran di masa sekolah tentang hukum-hukum air.
Mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Ia mendesah napas. Perlahan, lebih lambat dari detak jam. Ada semacam riuh
yang terendam.
"Jam berapa, Mas?" tanya Dhesi, mengejutkan lamunannya.
"Jam setengah enam sore," setelah wajahnya melirik ke arah dinding
yang bercat putih.
"Apa hujan telah reda?" tanya Dhesi. Ia berjingkat, membuka katup
jendela kamar, mengintip dari celahnya. "Ya." Lelaki itu masih
melihat basah yang berumah di dedaunan, mengkilapkan reranting, tanah yang lembab-peta
yang menandakan hujan pernah mampir di situ.
"Adakah ceritamu tentang hujan yang sudah kelar?" istrinya seakan
menantang, "Ayo dong, Mas, ceritakan aku lagi tentang itu!"
Lelaki itu masih saja mengintip dari celah jendela. Melihat sore yang mulai
gelap. Ia menduga, sebentar lagi malam akan datang. Ia melihat wajah Dhesi
lama. Terdiam, hampir lima menit, "Hujan yang reda, maksudmu?" Dhesi
menganggukkan kepala tanda setuju.
Dan, dimulailah cerita itu: Barangkali, seseorang, mungkin dirimu, telah kehilangan
sesuatu. Padahal, kau kerap menunggunya berwaktu-waktu. Bagimu, hujan adalah
sebuah napas, yang mengisyaratkan sebuah ruang yang tersembunyi.
Sebagaimana dalam film-film klasik Cina, hujan selalu meninggalkan sebuah
bekas. Di mana kau akan merajut ulang kenangan, mimpi, atau pijar harapan yang
masih tertinggal. Bagimu, hujan bukan sekadar tumpahan air yang jatuh dari
langit. Hujan merupakan pelambang, yang membuatmu terpaksa memikirkan
leluhur-leluhur yang menebarkan sulur baru. Hujan yang terus memburu-buru
seluruh pengetahuanmu. Yang memaksamu terus terkenang pada perahu besar dari
kayu, mengarungi daratan yang telah menjelma jadi lautan. Ya, kau terus saja
mengingat Nuh, yang begitu tegar sendirian mengarungi samudera. Air dingin itu
akan memeluk apa saja dengan ikhlas. Mungkin sebagai potret dirimu yang tak
henti-henti mengalir, melewati batas-batas pencarianmu. Hujan pulalah yang
mengingatkanmu pada sebuah film Hounted Manson, ketika Eddie Murphy sekeluarga
terjebak di tengah parau hujan yang deras di tengah rumah dipenuhi hantu. Hujan
yang selalu menahan, dan memaksa untuk menciptakan atap-atap baru, katakanlah
untuk sekadar menutupi diri agar tak basah. Atau bunyi petir di tengah langit
yang getir, yang membuka ingatanmu pada sebuah perang dalam The Last Samurai,
di mana potongan besi pedang beradu, mendentangkan gemerincing besi.
Ah, betapa hujan selalu memijakkan jejak yang menapak. Melalui
genangan-genangan. Menciptakan lautan baru. Kau baru saja menuju rumah.
Melewati jalanan yang sepertinya akrab kau lalui. Kau sedang menghitung-hitung,
adakah kejutan baru yang kau dapati di rumah nanti? Sebab berulang kali, kau
hanya menemui labirin kesunyian abadi, setiap kali tiba di rumah. Tak ada
seorangpun yang enak diajak bicara, hal yang membuatmu terlampau cepat bosan
sehingga kau ingin keluar saja dari rumah. Berjalan, mungkin sendirian, ke mana
saja. Terkadang kau mengunjungi kenalan perempuanmu. Tertawa banyak-banyak,
sekadar menyembunyikan gulanamu. Tetapi itupun tak kekal.
Perempuan itu cepat menghilang, ketika malam tambah hitam, justru waktu juga
yang membatasi sebuah pertemuan. Mendadak perpisahan di depan mata. Ya, sudah
berulang kali pula, kau berjumpa dengan perpisahan, dengan kekasihmu, misalnya.
Pertama kali kau merasa begitu kehilangan. Pertama kali, kau menyesali,
mengapa cintamu tak pernah bisa abadi. Tetapi akhirnya, setelah perempuan baru
datang, kau berangsur-angsur melupakan perempuan lamamu. Segalanya nampak jadi
biasa. Hal-hal biasa pula, yang memakumu. Seperti juga ketika hujan selesai,
kau mungkin agak sedikit menyesalinya, tetapi, toh, kau pikir kau akan berjumpa
hujan yang baru juga suatu waktu.
Dan kau melintasi jalanan setelah hujan selesai. Kau melihat orang-orang
membenahi segelanya. Keluar masuk dari dalam kepalamu. Beberapa wajah ada yang
sempat kau kenal, mungkin di masa lalu. Begitu banyak mereka. Ketika melewati
perempatan itu pula, kau mendengar percakapan dua kekasih yang bertengkar.
"Jadi apa kau lebih memilih dirinya dibandingkan aku? Apakah dirinya
lebih cantik dariku?" jerit seorang perempuan. Si lelaki hanya terdiam.
"Lalu, apa diriku selama ini? Apakah aku memang tak layak untuk kau
cintai?" Mereka terus saja bertengkar. Membongkar keterjagaanmu. Ah,
cinta! Selalu saja tak mampu dijelaskan dengan metafisika.
Pada mulanya, kau menduga, si perempuan benar-benar akan meninggalkan lelaki
itu. Tetapi kau keliru, saat perempuan itu menangis dengan liris, si lelaki
justru memeluknya. Mereka berpelukan rapat, dan semakin rapat. Beberapa saat
kemudian, pasangan itu justru tertawa-tawa kecil. Beberapa waktu kemudian,
mereka saling melumat bibir, berciuman, seolah-olah tak ada orang di
sekitarnya. Kau menyaksikan itu, tetapi kau membuang pandang. Kau merasa
cemburu, bukan pada prempuan itu, toh kau juga tak mengenalnya. Tetapi ternyata
mereka dapat menyelesaikan masalah setelah hujan berhenti. Tidak seperti
dirimu, yang tiba-tiba kalah. Tidak seperti dirimu, yang ternyata ditinggalkan
kekasihmu.
Next
Mungkin, kau berpikir, lebih baik hidup tanpa cinta. Dengan begitu, kau bisa
bebas berjalan dengan perempuan yang mana saja. Tanpa mesti terlibat terlalu
jauh. mungkin hanya cinta sehari saja. Hubungan yang sebentar. Seperti sebuah hujan,
turun dengan deras, kemudian selesai. Esok hari, masih ada hujan yang lain. Di
hari yang lain juga, kau akan bertemu dengan perempuan yang lain. Justru
kesetiaan yang macam itu terus tiba, hujan yang bagimu, terkadang mirip dengan
perempuan. Perempuan dan hujan sama saja, ia akan selalu datang di hari yang
lain, waktu yang kemudian. Yang mampu menyejukkan pandangan. Tidakkah itu
sebuah kesetiaan? Seperti juga hujan di mana di dalam diri perempuan acap kau
temui semacam tatapan teduh dari kornea mata, yang memintamu untuk masuk ke
dalamnya, kemudian berendam lama-lama di sana. Tak peduli, jika tubuhmu nanti
akan menggigil di sana.
Justru di kelengangan itu, kau seakan menemui lautan baru. Kau berkhayal
seperti Nuh, berlayar di sana. Tiba-tiba kau ingat Sapardi Djoko Damono, yang
menulis sajak begini: Kuhentikan hujan. Kini matahari merindukanku, mengangkat
kabut pagi perlahan-ada yang berdenyut dalam diriku: menembus tanah basah,
dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya matahari. Tak bisa kutolak matahari
memaksaku menciptakan bunga-bunga.
Tetapi hujan telah selesai, adakah yang tertinggal di sana? Selain
kasmarannya yang penuh sengat birahi, yang meraba dengan tungkai lengannya,
dengan jemarinya yang lentik, ke seluruh batang pohon, liuk tanah, juga daun-daun
yang basah? Kau tak pernah tahu, tetapi matahari nampaknya telah malu-malu
pukimak keluar di ujung langit. Cahayanya seperti menebarkan getah yang sengit.
Seperti kepingin mengintip, seperti kasmaran purbamu pada perempuan itu. Ah,
bukankah tadi kau bilang bahwa cinta itu melulu menipu? Tetapi mengapa rasa
kangen kerap merajam, yang terkadang membuatmu tersengal, ingin mendengar
suaranya, ingin menatap wajahnya, ingin menatap dengan lekat bagaimana ia
menggigit bibir bawahnya dengan gigi seri atasnya ketika sedang dirundung
cemas. Kau ingin melihat pipinya yang merona bundar merah, ketika kau daratkan
percakapan-percakapan yang setengah lucu. Terkadang dari binary pipi merahnya,
kau kepingin mencubit kecil pipinya yang rada tembem itu. Meski sebenarnya kau
punya sejumlah kenalan perempuan lain di kota tempat tinggalmu, yang bisa kau
kunjungi, dan kau ajak ke mana saja pergi, tetap saja terkadang terlintas
pikiran pada perempuan itu.
Siapakah perempuan itu? Yang terus mengurung dirimu menjadi asing? Tidakkah
kau merasa dipermainkan olehnya. Kau tak tahu, seperti ketika kau mengingat
dirinya sekarang, pada saat hujan baru saja selesai. Di mana kau menapakkan
kaki dengan langkah pelan-pelan, di mana tak sempat kau tampung seluruh
pikiranmu yang melompat-lompat. Betapa biografi perempuan itu telah menciptakan
enigma baru buatmu.
Lalu kau merasakan hujan tak melulu berkisah tentang kesetiaan, sesekali
juga mendaratkan pengkhianatan. Dan bagimu juga, itu merupakan hal yang biasa.
Terlebih lagi dalam hidupmu, kau mengenal dengan jelas siapa-siapa orang yang
berkhianat padamu, bahkan ketika kau berikan padanya rasa percaya. Terkadang,
memang menyakitkan juga, tetapi pengkhianatan itu kerapkali datang
berulang-ulang sehingga kau merasa kapalan akannya.
Padahal hidupmu sendiri, tak hanya memikirkan hujan, bukan? Kau masih banyak
kegiatan lainnya, seperti pergi ke tengah kota, menyelesaikan tugas-tugas
kantor, pergi ke tempat teman yang masih bujangan, sama seperti dirimu. Dan
juga, pekerjaanmu lainnya masih banyak, bukan hanya memikirkan perempuan itu,
yang membuat batinmu nelangsa, pikiranmu tumpang-tindih, kau masih memunyai
sejumlah agenda. Agenda yang kerap kau susun dengan hati-hati.
Meskipun, terkadang segala yang kau rencanakan selalu ada yang terlewat. Kau
masih saja melewati jalanan yang basah itu, hujan memang telah berhenti, kau
mendapati barisan orang-orang, berkerumun, mengusung bendera warna-warni,
tumpah-ruah ke jalan. Orang-orang itu, bersorak-sorai, membuat jalanan macet,
kau menatapnya hanya sekilas.
Tiba-tiba kau merasa mereka menjelma jadi robot, yang membawa bendera dengan
warna serupa. Seketika kau ingat negeri, di mana kau dilahirkan, tanah di mana
kau minum airnya, kau hirup udaranya. Negeri yang bagimu selalu mengguratkan
kecemasan. Di mana harapan terus saja beranak-pinak, tumbuh, dan bersemi.
Tetapi kemudian mati kembali. Kau ingat negeri yang selalu menciptakan tanah
pekuburan yang luas, bagi siapa saja, negeri yang selalu menyala dengan pijaran
api yang tiada henti. Negeri yang berubah jadi sebuah pom bensin, ketika ada
bara yang menyulut langsung meledak. Tiba-tiba kau ingat negeri yang seperti
pelampung, terus saja mengapung di lautan, tanpa bertemu pulau atau daratan.
Tiba-tiba kau merasa jadi pesakitan di tanah kelahiranmu.
Dan, memang kau melihat banyak orang-orang yang sakit. Semua orang jadi
sakit, sampai-sampai ketika salah seorang yang sembuh, maka mereka bilang,
"Kau yang sebenarnya sakit!" Ada semacam kegilaan yang tumbuh, yang
mengayuh.
Meski kau merasa, di sinilah kau dilahirkan, dibesarkan, bermain-main lepas
dengan penuh kegembiraan. Kau ingat, bagaimana di waktu kecil dulu, kau bisa
mengejar laying-layang yang putus ke tanah lapang, bermain bola di tengah deras
hujan, main petak umpet, kelereng. Kau merasa begitu bahagia tinggal di negeri
ini. Walaupun kau merasa di negerimu tak ada perang yang membunuhi orang-orang.
Tetapi tetap saja, banyak kejanggalan lain yang tumbuh dengan cepat di dadamu.
Padahal, seandainya saja kau masih punya Ibu di negeri ini, kau akan
mengadukannya. Kau akan menumpahkan seluruh keluhanmu. Barangkali, Ibu akan
mengusap kepalamu, sehingga kau merasa teduh. Meski bagimu, Ibu biasanya hanya
membisu, termangu, dan tak lagi berbicara. Padahal, kau butuh Ibu untuk
menampung semua keluhanmu. Tetapi nyatanya segala nampak sia-sia, kau mungkin
telah kehilangan Ibu, barangkali orang-orang yang berkerumun itu yang turut
membunuhnya.
Kau masih saja berjalan, jalanan yang mengkilap seperti sebuah percikan yang
menyeretmu pada sebauh masa lalu. Kau melalui tukang-tukang becak yang berjejer
di mulut jalan. Setiap kali ada orang yang lewat, dengan sigap menawarkan
jasanya. Kau menatap beberapa tukang becak yang duduk dengan pandangan yang
kosong. Ah, sebenarnya kau ingin sekali bercerita banyak pada Ibumu. Ya, kau
ingin sekali menceritakan pada Ibu, mengapa banyak orang yang tidak bekerja di
negeri ini, mengapa banyak anak-anak kecil yang berkeliaran di jalan, mengapa
banyak pertanyaan yang tak diselesaikan dengan sebuah jawaban.
Kau masih saja melangkahkan kaki. Jalanan masih saja basah. Kau merapatkan
tubuhmu, sekadar menghangatkan diri, supaya gigil tak sampai ke pembuluh.
Kegiatan yang mengingatkanmu pada sajak dari seorang penyair: aku merapatkan
mantel dan krah kemeja/ orang-orang menyusun masa lalu/ yang terus tumbuh/ memasuki
otakku.
Meski masih ada selusup dingin yang begitu tak terjaga, yang tak mampu kau
singkirkan berulang-ulang. Bahkan ketika kau silangkan kedua lenganmu, pun pada
saat kau dekap dirimu dengan seluruh waktu.
Langkahmu terhenti di sebuah tikungan. Padahal beberapa kelokan lagi, kau
akan sampai di rumah. Namun kau memutuskan berdiam. Kau merencanakan sesuatu,
kau ingin ke kota . Menatap lama-lama orang-orang yang berkerumun tadi.
Barangkali kau akan bercakap-cakap dengan mereka, sebab kau ingat, kau melihat
dirimu seperti ada di sana.
"Kemudian?" seru Dhesi seperti memburu akhir cerita, seperti ada
yang tak jelas.
"Kemudian, bagaimana?" tanya si-Mas. "Ya, bagaimana tokoh
"kau" dalam cerita itu?"
Si-Mas berpikir, mengintip dari celah jendela kamar yang sedikit terbuka. Di
luar, ia melihat sisa basah hujan masih lekat menjilat dahan, dedaun, juga
pagar besi.
@ Kedaton, Tupai 40, Bandarlampung, Maret 2004
AKU berada di rumah sakit untuk menjaga ibu mertuaku yang sedang dirawat
inap selama beberapa hari. Sakit yang dideritanya sebetulnya tidak terlalu
parah, hanya penyakit-penyakit ringan yang sudah lazim menimpa orang-orang tua.
Tapi, Attar Brozova, suamiku, bersikeras menginapkan emak yang sangat
dicintainya itu di rumah sakit. Katanya, agar aku tidak terlalu repot
mengurusinya mengingat pekerjaan rumah saja sudah menumpuk dan setiap saat
harus selalu dibereskan. Di satu sisi, apa yang dikatakan suamiku itu memang
benar, tapi di lain sisi, itu justru membuatku semakin repot karena aku harus
bolak-balik antara rumah dan rumah sakit, antara mengurus ibu mertua dan
mengurus rumah dan anak-anak.
Dan malam itu, setelah pada sore harinya ada telepon dari rumah sakit yang
memberitahu bahwa kondisi kesehatan ibu mertuaku semakin parah, aku harus
berada di rumah sakit untuk menjaganya. Suamiku kebetulan tidak bisa ikut. Ada
urusan yang harus diselesaikannya berkaitan dengan pekerjaan kantor.
Untuk menyelamatkan diri dari serbuan jengah, aku keluar dari ruangan di
mana ibu mertuaku dirawat, pada saat beliau tertidur, tentu saja. Aku duduk di
sebuah bangku yang khusus disediakan bagi para pembesuk. Sekilas kuamati
orang-orang yang lalu-lalang dengan wajah-wajah cemas, sedih, putus asa, dan
menjadi sadar: alangkah aneh rumah sakit. Di situ, keriangan hidup benar-benar terampas.
Tak jauh dari tempatku, duduk juga dua wanita cantik yang tampak sedang
asyik mengobrol. Mereka agaknya terlibat dalam suatu pembicaraan menyenangkan,
tapi tawa yang sesekali meledak dari mulut mereka, sungguh membuatku sedikit
tidak nyaman. Apakah gerangan ihwal yang bersarang di otak mereka sehingga di
rumah sakitpun masih bisa cekikikan? Apakah mereka ke rumah sakit tidak untuk
membesuk keluarga atau teman yang sakit?
Aku mendadak kehilangan rasa hormat kepada dua wanita itu. Tapi, entah
mengapa, aku justru merasa tergoda untuk mengamati tingkah dan pemampilan
mereka, dan berusaha sebisa mungkin menguping pada apa-apa yang mereka
bicarakan. Seorang dari mereka, duduk di sebelah kiri arahku memandang,
memiliki rambut panjang, hidung mancung, ada kacamata bertengger di atas
hidungnya dan matanya yang angkuh tampak lebih teduh di balik kacamata itu.
Yang seorang lagi tampak sangat anggun dengan rambut sebahu yang dipotong dan
disisir rapi, dagunya sedikit lancip, berleher jenjang. Mereka berdua sama-sama
berkulit putih, belum ada kerut-merut dikulitnya, memiliki payudara besar dan
masih membusung, perut langsing dan wajah mereka berseri-seri seperti tak ada
marabahaya dan kesedihan-kesedihan yang berusaha merusak wajah itu. Diam-diam
aku merasa iri. Aku tidak lagi secantik mereka. Perutku sudah penuh dengan
lipatan-lipatan lemak. Pada wajahku sudah mulai bermunculan bintik-bintik hitam
yang menyebalkan. Dan, orang-orang berkata bahwa mereka sudah tidak bisa lagi
menemukan kecantikanku yang berdelau pada saat masih muda. Ah, aku jadi benci
pada dua wanita itu. Tapi tidak. Perasaan buruk itu tidak boleh kubiarkan
melilit jiwaku. Maka, sambil berusaha menata perasaan-perasaan kurang ajar, aku
mencoba mendengar apa-apa yang mereka bicarakan.
"Kerja di mana?" pemilik rambut panjang bertanya.
"Di bank. Kamu tahu, aku senang sekali dengan pekerjaan itu. Selain
memang sesuai dengan latar belakang pendidikan yang kumiliki, bekerja di bank
sudah menjadi impianku sejak kecil," sahut pemilik dagu lancip dengan
kebanggaan yang berlebihan.
"Oh, begitu ya," kata si empunya hidung mancung takjub, lalu
bertanya lagi, "Kuliah di mana dulu?"
"Di Universitas Diponegoro, di Semarang."
"Angkatan berapa?"
"Sembilan dua."
"Wow, kebetulan banget. Kamu kenal dong sama Jonggi Monakov?"
"Oh, kenal. Kenal sekali. Dia teman baikku sewaktu kuliah. Asyik tuh
berteman dengan dia. Orangnya santun, ramah, cerdas dan suka ngeguyon. Dia juga
tampan. Kamu kok bisa kenal sama dia?"
"Dia teman SMA-ku. Kami sangat akrab dan aku selalu yakin bahwa dialah
satu-satunya lelaki paling baik yang pernah kutemui. Dia sangat penyayang sih,
sangat perasa. Sesudah dia kuliah, kami masih terus bersahabat lewat surat dan
email. Waktu itu aku kuliah di Medan.
"Tapi..." kata kedua wanita itu serentak, tapi segera diambil alih
oleh pemilik hidung mancung, "Dia sekarang di penjara. Dia membunuh
istrinya."
"Yah, aku tahu. Aku sedih sekali mendengar kabar itu."
Lalu, kedua perempuan itu terdiam. Ada kesedihan yang menguar dari wajah
mereka. Dan, dengan langkah getir, aku meninggalkan mereka dan kembali ke
ruangan dimana ibu mertuaku dirawat. Tapi, pada saat kusadari pikiranku sangat
tersita oleh dua perempuan itu, aku tiba-tiba merasa seperti mengenal mereka,
seperti pernah bertemu dengan mereka. Tapi dimana? Ah, persetan dengan mereka.
Aku justru terkenang pada Jonggi, lelaki yang baru saja mereka bicarakan.
Lelaki itu adalah bekas kekasihku. Aku pernah mencintainya dengan gila. Dia
pernah mencintaiku secara membabi-buta. Tapi jika ingat penyimpangannya, ah...
Keesokan harinya, segera setelah tiba di rumah, kubuka kembali album-album
lama yang menyimpan foto-foto keluarga, teman-teman, dan Jonggi. Dan benar, dua
wanita yang kutemui di rumah sakit itu adalah Miralev dan Yola. Di album itu
masih tersisa beberapa lembar foto mereka. Meski telah banyak yang berubah
dalam hal penampilan, tapi wajah mereka tidak jauh berubah.
Dulu, Jonggi seringkali bercerita tentang dua perempuan ini kepadaku karena,
katanya, ia ingin jujur tentang masalalunya. Ia tidak ingin aku kecewa jika kelak
mengetahui bahwa ia telah memiliki banyak gadis yang dipacarinya jauh hari
sebelum bertemu aku. Dan, kejujuran itulah yang membuatku percaya bahwa ia
lelaki yang baik. Sering memang aku merasa cemburu jika kuminta padanya untuk
membakar saja foto-foto itu, tapi ia selalu berkata bahwa tidak baik membakar
foto orang lain. Hal itu bisa membuat kita mengalami kesialan-kesialan dan
sebaliknya, menjaga potret orang bahkan yang kita benci, bisa membawa suatu
keberuntungan di setiap hal yang kita lakukan. Aku tidak mau berdebat. Meskipun
pendapatnya itu terasa sangat konyol, aku berusaha menerimanya, menghargainya
sebagai tanda bahwa Jonggi memang baik. Tapi, aku ternyata salah. Ia justru
pergi dan menikah dengan perempuan lain, perempuan yang kini telah mati di
tangannya, dan kini ia harus membayarnya dengan derita panjang. Aku sebetulnya
masih merasa cinta pada Jonggi, dan aku sempat hampir pingsan ketika berita
buruk yang menimpa dirinya kudengar dari berita kriminal di salah satu
televisi. Dan, pertemuanku dengan dua perempuan itu, sungguh membuatku merasa
rindu pada Jonggi. Haruskah aku menemuinya ke penjara?
Tapi, mengapa kedua wanita itu tidak saling mengaku bahwa mereka adalah
mantan pacar Jonggi. Malukah mereka disebut pernah pacaran dengan seorang yang
kini meringkuk di penjara? Benarlah apa yang dikatakan Jonggi: Miralev dan Yola
bukan perempuan yang baik. Pantas saja Jonggi meninggalkan mereka dan jatuh
kepelukanku sebelum akhirnya hancur setelah menikah dan membunuh istrinya.
***
AKU berada di rumah sakit untuk menjaga adik iparku yang harus di rawat inap
selama beberpa hari. Ulinya, adik iparku itu, baru saja menjalani operasi
pengangkatan usus buntu. Karena bosan berada di ruangan, aku keluar dan
duduk-duduk di sebuah bangku yang disediakan khusus bagi para pembesuk. Aku
merenung tentang perjalanan hidupku yang getir. Meski secara materi suamiku
bisa menghidupiku lebih dari cukup, tapi bathinku selalu tersiksa. Hingga kini,
dalam usia pernikahan kami yang sudah berlangsung lima tahun, kami belum juga
memiliki anak. Aku benar-benar menderita, kesepian dan sering mengutuk diri
mengapa pada waktu muda dulu aku sering kali melakukan perbuatan-perbuatan
najis. Ini mungkin kutukan, hukuman yang diberikan Tuhan atas dosa-dosaku.
Untunglah perasaan sedih itu tiba-tiba terhenti karena kehadiran seorang
perempuan dan langsung duduk di sebelahku. Perempuan itu mungkin masih sebaya
dengan aku. Dia sangat cantik. Kami lalu berkenalan, saling mengobrol. Dia
bernama Miralev, sangat menyenangkan, suka bercerita, dan gampang tertawa.
Beban yang menghimpit dadaku terasa sedikit longgar. Setelah pembicaraan
melompat-lompat dari satu hal ke lain hal, kami lalu masuk pada pembicaraan
yang lebih serius. Aku bertanya dimana dia bekerja, dan pertanyaan itu menyeret
kami pada suatu peristiwa kebetulan. Dia berkata bahwa dia bekerja di sebuah
bank, sebuah pekerjaan yang memang sudah dicita-citakannya sejak kecil, dan itu
sangat sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dia tamat dari sebuah
universitas di Jawa Tengah. Aku kaget. Di universitas itulah dulu Jonggi
Monakov menuntut ilmu. Ketika kutanya, dia berkata bahwa dia mengenal Jonggi
dengan sangat baik. Dia bahkan memuji-muji mantan pacarku itu agak berlebihan.
Dia lalu bertanya bagaimana aku bisa mengenal Jonggi. Kukatakan, Jonggi adalah
teman baikku sewaktu SMA, tapi aku tidak memberitahu bahwa Jonggi adalah mantan
pacarku. Aku malu jika harus mengaku pernah berpacaran dengan seorang pembunuh.
Biarlah kuakui ia sebagai teman dan itu cukup membanggakan karena pada saat itu,
Jonggi masih lelaki yang gagah dan selalu menjadi idaman gadis-gadis. Kalaupun
saat ini hidupnya hancur, itu barangkali karena hidup tak selalu menguntungkan
dan aku tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya yang sial itu.
Tapi, pembicaraanku dengan Miralev tiba-tiba sedikit terganggu karena mataku
tertumbuk pada seorang perempuan yang duduk di bangku lain tak jauh dari tempat
kami. Perempuan itu barangkali sudah duduk sejak lama di tempat itu. Dan
rasa-rasanya aku seperti pernah bertemu dengan perempuan itu, seperti
mengenalnya. Dan, ya, setelah berusaha mengingat-ingat, akhirnya kutahu bahwa
perempuan itu adalah Maryanka. Dia adalah mantan pacar Jonggi, sebelum aku.
Dulu, Jonggi seringkali bercerita tentang perempuan itu dan berkali-kali
menunjukkan fotonya kepadaku. Jonggi bilang, ia sangat menghargaiku sebagai
seorang kekasih. Oleh karena itu, sifatnya yang suka menunjukkan foto perempuan
itu adalah sebentuk kejujuran bahwa ia pernah berpacaran dengan perempuan lain
dan itulah caranya membuatku yakin bahwa akulah perempuan terakhir baginya.
Tapi, aku menaruh dendam yang dalam pada perempuan itu, sebab dengan alasan
yang terlalu dibuat-buat, Jonggi selalu berusaha menolak jika aku menyuruhnya
membakar foto itu. Dan benar, Jonggi memang pembohong. Dia malah menikah dengan
perempuan lain. Tapi sayang, istrinya meninggal di tangannya.
Tapi, urusanku dengan Maryanka belum selesai. Maka, ketika aku berkata
kepada Miralev bahwa Jonggi berada di penjara, sengaja kukeraskan volume
suaraku agar perempuan itu bisa mendengar, agar dia tahu bahwa mantan
kekasihnya adalah orang bejat.
***
RUMAH sakit selalu menjadi tempat yang sangat memuakkan bagiku. Aku selalu
merasa mual jika berada di rumah sakit. Tapi, malam itu aku harus berada di
rumah sakit untuk menjaga adik lelakiku yang sedang dirawat karena kecelakaan.
Adik lelakiku itu memang sangat nakal, sering ugal-ugalan jika sedang
berkendara di jalan raya, dan akibatnya, ia bertabrakan dengan sebuah truk.
Untung nyawanya masih selamat. Dulu, adik lelakiku itu pernah kecanduan obat.
Dan, setelah berhasil terbebas dari bubuk setan itu melalui proses yang sangat
panjang, aku dan suamiku selalu berusaha memenuhi setiap keinginannya asalkan
dia tidak kembali lagi mengkonsumsi narkoba. Dia minta dibelikan sepeda motor,
kami memenuhinya. Tapi sejak itu, dia malah ugal-ugalan di jalan, acap
melakukan balapan liar bersama teman-temannya dan terakhir kuketahui dia malah
sudah mabuk-mabukan lagi dengan menenggak alkohol. Dia benar-benar membuatku
pusing.
Malam itu, karena sudah tak tahan berada di ruangan dimana adik lelakiku
dirawat, aku keluar untuk menghirup udara segar. Aku duduk pada sebuah bangku
dan di situ telah duduk juga seorang perempuan cantik, seusiaku. Kami
berkenalan. Kebetulan sekali, dari pembicaraan kami yang entah kenapa bisa
berlangsung dengan sangat lancar, terungkap bahwa ada ikatan persahabatan tak
langsung antara aku dan perempuan. Dia ternyata sangat akrab dengan Jonggi
Monakov, pacarku sewaktu kuliah. Perempuan bernama Yola itu berkata bahwa
Jonggi adalah teman baiknya sewaktu SMA. Peristiwa kebetulan itu tentu saja
membuat kami semakin akrab.
Aku sebetulnya ingin sekali berkata bahwa Jonggi adalah mantan kekasihku.
Tapi, karena tiba-tiba aku melihat seorang perempuan yang juga sedang
duduk-duduk tak jauh dari tempat kami, kuurungkan niat itu. Masalahnya, aku
sangat kenal pada perempuan itu. Dia bernama Maryanka. Aku pernah beberapa kali
bertemu dengan dia. Jonggi seringkali bercerita tentang perempuan ini kepadaku.
Dia adalah mantan pacarnya. Jonggi memang begitu, selalu jujur tentang
perempuan-perempuan masalalunya. Dan, setiap kali ia selesai menceritakan
perempuan-permpuannya, ia selalu mengatakan kalimat yang membuatku nyaman,
"Kamu adalah perempuan terakhir bagiku." Dari sekian banyak perempuan
yang pernah dipacarinya, katanya, aku merupakan perempuan terbaik. Tapi, Jonggi
justru menikah dengan perempuan lain. Perempuan yang kini telah mati
dibunuhnya.
Dulu, aku selalu ingin berkenalan dan berbagi cerita dengan Maryanka, tapi
hal itu tidak pernah bisa terjadi. Setiap kali kami bertemu di jalan, di mal,
atau di mana saja, Jonggi selalu mengajakku mengelak agar dia tidak sempat
melihat kami. Kata Jonggi , ia tidak ingin membuat perempuan itu lebih terluka.
Aku sebetulnya masih mencintai Jonggi hingga saat ini. Aku seringkali
berpikir untuk mengunjunginya di penjara. Tapi itu tidak mungkin. Aku sudah
mempunyai dua anak yang lucu-lucu dan memberiku kebahagiaan yang dasyat.
Suamiku juga sangat baik. Apa yang kuterima saat ini adalah anugerah luar
biasa. Suamiku tidak pernah menyakitiku meskipun sejak awal-awal pernikahan
kami dia sudah tahu bahwa aku tidak gadis lagi.
***
TUAH, itulah kisah yang dituturkan tiga sahabat kepadaku. Mereka bercerita
dengan penuh kesedihan, disertai isak, seolah-olah ingatan akan peristiwa itu
adalah bahaya tak tertanggungkan. Dari cerita itu kamu sudah bisa mereka-reka
betapa cinta ketiga sahabatku itu pada Jonggi. Cinta yang sangat pelik, sama
rumitnya seperti cintaku padamu yang tak pernah bisa kupahami. Dan, meskipun
kerap dihantui rasa bersalah yang akut, aku tetap merasa bangga karena hingga
kini aku masih tetap menjaga rapi rahasia itu dan tidak membeberkan kepada
mereka bahwa sebetulnya Jonggi memacari mereka sekaligus dalam waktu yang
bersamaan. Aku juga mengenal Jonggi. Dia adalah rekan kerjaku di kantor
tempatku bekerja, sekarang. Dulu, sebelum Jonggi masuk bui, mereka bertiga
pernah datang ke kantor kami dan sejak itulah aku berkenalan dan menjadi
bersahabat dengan mereka. Bahkan, akulah yang dimintai tolong oleh Jonggi untuk
mengatur jadwal pertemuan mereka dan mengaturnya sedemikian rupa agar tidak
bertabrakan jika sesekali mereka ingin bertemu dengan Jonggi.
Sungguh, aku merasa bangga bisa menjaga dengan rapi rahasia itu. Aku tidak
ingin melukai mereka, tidak ingin membuat mereka benci pada Jonggi. Kasihan
Jonggi jika harus dibenci oleh kekasih-kekasihnya apalagi pada saat remuk
seperti sekarang ini. Dan, tahukah kamu kenyataan pedih di balik semua itu?
Suatu hal yang mengerikan memang, Tuah. Tapi, kamu harus tahu karena kisah itulah
yang menjadi sedikit jawaban mengapa aku selalu menolak menikah denganmu, dan
kini malah pergi meninggalkanmu.
Ingatkah kamu setiap kali kita bercumbu, aku selalu berusaha meringkusmu,
dan tanpa sadar, aku selalu mencakar punggung dan lehermu. Sungguh, pada saat
kita bercinta, aku ingin kamu menamparku, menjambak rambut, bahkan bila mungkin
mancambuk, menendang dan mencakari tubuhku.
Apa yang terjadi pada ketiga sahabatku itu adalah hal yang sebaliknya.
Sayang sekali, memang, mereka bertiga adalah orang-orang yang tidak terlalu
peduli pada moral. Selama berpacaran, ketiga sahabatku itu sudah kenyang dengan
pengalaman-pengalaman seksual bersama Jonggi, dan selama itu pulalah mereka
mengalami penderitaan. Sebagaimana yang mereka tuturkan, setiap kali bercinta,
Jonggi selalu menampar wajah, menjambak rambut, menghantukkan kepala mereka ke
dinding kamar, juga kekerasan-kekerasan lainnya.
Ketika Jonggi berkhianat, ada memang rasa senang dan lega yang menyusup ke
dalam dada mereka karena terbebas dari monster jahat. Tapi, ketika perasaan
cinta bersuara dan bergetar dengan lebih kencang, mereka sedih, menangis, dan
ingin sekali membebaskan Jonggi dari penyakitnya itu.
Tapi syukurlah, atas anjuranku, lambat laun mereka mulai sadar akan posisi
mereka dan tidak lagi pernah menemui Jonggi. Bahkan, ketika kabar tentang
pembunuhan yang dilakukan Jonggi pada istrinya menyebar, tak satupun dari
mereka yang panik dan tetap mencoba bersikap tenang, meski kutahu mereka sangat
terluka. Tapi sejak peristiwa di rumah sakit itu, mereka bertiga kembali
memikirkan Jonggi dan seringkali berpikir untuk mengunjungi Jonggi di penjara.
Tuah, aku percaya, Jonggi tidak bermaksud membunuh istrinya. Ia melakukan
itu karena cinta. Penyimpangan seksual yang dideritanya itu mungkin tidak pernah
dianggapnya sebagai sebuah kekerasan, tapi dilakukannya sebagai bentuk ungkapan
cinta terdalam.
Sekarang, aku ingin bertanya sama kamu, mungkinkah kita menikah karena aku
juga mengidap penyakit yang sama. Sekarang, aku telah memutuskan langkah apa
yang harus kutempuh. Aku mungkin akan berusaha mencari suami seperti Jonggi.
Kupikir, jika sadis bersatu dengan masokhis, akan ada pengertian yang melebihi
cinta antara mereka dan itu tidak akan pernah bisa menyebabkan kematian seperti
yang terjadi pada istri Jonggi.
Dan, anggaplah sekarang ini adalah saat-saat di mana aku harus pergi,
melenggang dengan sangat sedih karena harus meninggalkanmu. Jangan pernah lagi
bertanya pada perenungan-perenunganmu mengapa aku pergi. Pada saat terakhir
seperti sekarang ini, aku hanya bisa memberimu jawaban: aku pergi
meninggalkanmu karena aku terlalu mencintaimu. Salam.
***
TUAH melipat kembali sepucuk surat yang diterimanya siang tadi. Dada lelaki
itu bergemuruh, sesak seperti dilanda badai gurun, tubuhnya lemas, dan ia longsor
di akhir penantian yang tragis. Ketika matanya banjir, ia mengenang saat
kekasihnya itu pergi meninggalkannya beberapa tahun yang lalu, tanpa pesan.
Kini, ia harus bersiap untuk berdamai dengan kesedihan dan kesepiannya.
***