Senin, 30 Juli 2012

ketika dia telah pergi


DITERIMA kabar duka pada 26 Desember 2004: Telah terbang ribuan nyawa, telah hilang berlaksa jiwa, lesap disapu bencana. Mari menundukkan kepala, berdoa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga untuk jiwa-jiwa yang kehilangan. Di sekotah tanah kekasih, kesedihan menggelombang, seperti laut yang mengamuk. Di sekujur negeri kesayangan, hati menggeletar, seperti ledakan gempa.
Didengar dan disaksikan kabar duka lewat televisi, radio, koran, pembicaraan mulut ke mulut, dan ratusan juta penghuni bumi menangis, mencucurkan luka dari setiap dada yang menggelepar diaduk kesedihan.
Seorang perempuan muda menangis ketika menonton televisi. "Mengerikan, ini mengerikan sekali. Hentikan... berhentilah mempertontonkan luka ini," isaknya entah kepada siapa, memukul-memukul kepalanya dengan kepalan tangan yang begetar. Tapi televisi makin buas menyodorkan airmata, tangisan, jeritan, mayat, serpih-serpih kehancuran. Hati perempuan itu remuk, lumat. Ia tak tahan. Ia mengerang sambil berlari ke belakang rumah, mengambil balok kayu, lalu menghantam layar televisi dengan sangat keras. "Braak..." Televisi hancur. "Tak pantas luka ini dipertontonkan," katanya dengan suara yang tersiksa. Perempuan muda itu tiba-tiba menjadi benci pada televisi, juga orang-orang yang muncul dan berlintasan di dalamnya.
Tetapi, untuk bisa terus-menerus memantau perkembangan duka, perempuan itu harus mengikuti berita. Maka ia beralih ke surat kabar. Ia membaca surat kabar dengan airmata bercucuran. Ia membaca surat kabar dengan tangan dan tubuh bergetar. Ia membaca surat kabar dengan hati yang terhantam. "Bangsat," perempuan itu berteriak, "Ini bukan berita duka. Ini tulisan sensasional." Ia mencabik-cabik surat kabar hingga menjadi serpihan-serpihan kecil dan menghamburkannya ke selokan di depan rumahnya. "Enyahlah kalian, wahai iblis-iblis laknat. Tak pantas luka dikomodifikasi untuk meraup keuntungan." Perempuan itu benci pada surat kabar, juga orang-orang yang sedang bertukang di dalamnya.
Diterima dan disaksikan kabar duka yang menggeletar dari menit ke menit, menguras airmata. Perempuan muda itu terus-menerus mengamati perkembangan luka. Ia mendengarkan radio. Setiap berita yang dihadirkan selalu disimaknya dengan penuh khusyuk, seperti sedang berdoa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga bagi jiwa-jiwa yang kehilangan. Tapi, lagi-lagi amarahnya meledak. "Bedebah," katanya seraya membanting radio ke lantai, "Kalian kira orang-orang senang mendengar suara kalian pada saat-saat sedih seperti sekarang." Perempuan itu merasa, pembaca berita hanya tampil untuk menonjol-nonjolkan suranya yang bagus, mendayu-dayu di antara jeda kata, tanpa sedikit pun menguarkan suasana sedih. Ia benci radio dan suara-suara yang melacurkan diri di dalamnya.
Diterima kabar duka yang beredar meremuk jiwa. Perempuan itu turun ke jalan-jalan, berbicara dan mengajak orang-orang menangis. Ia meneriakkan puisi-puisi keprihatinan, menyenandungkan tembang-tembang ngilu, menerbangkan ratapan ke angkasa, agar burung-burung mendengar, agar kupu-kupu menangis. "Mari, Saudara-saudara," ratap perempuan itu, "Kita berikan apa yang bisa kita berikan. Kita kuatkan saudara-saudara kita."
Tapi ia menemukan hanya sedikit saja orang yang bersedih. Hanya beberapa gelintir yang benar-benar prihatin. Selebihnya adalah sosok-sosok yang terperangah, takjub dan terhibur menyaksikan perkembangan duka.
"Dasyat," kata seseorang ketika melihat rekaman luka di sebuah televisi. Ombak bergulung dari dari arah laut, menghempas dan menerjang-nerjang, kota-kota di sepanjang pantai ambruk.
"Luar biasa," kata yang lain menyaksikan ribuan mayat teronggok.
"Ini baru seru, akan tercatat sebagai rekor terdasyat dalam sejarah."
"Tontonan yang sangat menarik."
"Tuhan memang luar biasa."
"Tuhan murka."
Dan telinga perempuan itu serasa ingin meledak ketika mendengar ucapan-ucapan itu berdentam. Ia tidak melihat garis kesedihan mencuat pada wajah-wajah. Ia tidak melihat airmata duka mengalir dari mata mereka. Dan ketika perempuan itu singgah di lepau, kedai kopi, dan warung-warung, ia mendengar lelaki-lelaki kuli, pemabuk dan para penjudi sedang ribut mempersoalkan angka berapa kira-kira yang diisyaratkan peristiwa itu. Mereka akan menukarnya dengan kupon-kupon togel. "Anjing kalian," kata perempuan mencopoti seluruh pakaiannya, dan menari-nari. Para lelaki kuli, pemabuk dan penjudi itu berlarian, hambur seperti diterjang gelombang.
Diterima dan disaksikan kabar duka pada 26 Desember 2004. Perempuan itu terus-menerus mengurai tangis, seperti tak akan habis air hati dari matanya. Seperti tak akan lelah jiwa dan rongga dadanya meratap. Dari hari ke hari ia tak berhenti merintih, melantunkan puisi-puisi pilu, mendendangkan tembang-tembang ngilu.
Dan, setelah beberapa hari meratap seperti orang gila, perempuan itu akhirnya bunuh diri, tepat pada pukul 00.00 penghujung tahun. "Selamat tinggal, saudara-saudara, aku akan pergi menemui luka."
Orang memakamkan jenazahnya dengan segudang ucapan.
"Darahnya bukan Aceh, tapi ia telah gila dan bunuh diri karena tak tahan menyaksikan duka Aceh," kata seseorang terbata-bata.
"Duka ini duka kita semua."
"Dia gadis cantik yang masih muda. Orang berjiwa seperti dia sangat dibutuhkan untuk menata negeri ini di masa depan. Sayang sekali dia meninggal."
"Rasa kebersamaanya luar biasa hebat, patut kita panjatkan hormat kepadanya."
"Ah, kenapa dia selemah itu. Harusnya dia lebih kuat," kata seseorang dengan ketus.
"Memangnya kenapa?" Seseorang yang lain bertanya.
"Lucu aja. Orang yang kehilangan seluruh keluarganya aja bisa tabah, nggak gila dan bunuh diri kayak dia."
Diterima dan disaksikan kabar duka yang menyebar meremuk jiwa. Dan, tiada seorang pun yang tahu mengapa perempuan itu gila lalu bunuh diri. Yah, tiada seorangpun yang tahu sebusuk apa nanah luka di dada perempuan itu, tiada seorang pun yang tahu, kecuali aku. Dan aku, aku tidak sanggup mengisahkannya kepadamu. Tapi karena telah kita terima kabar duka yang menyayat jiwa, aku ingin menghiburmu, ingin menghibur diriku dengan berkisah tentang perempuan lain, perempuan yang kukasihi. Mengapa harus perempuan lain? Mengapa tidak perempuan itu? Sesuka hatimulah, kau boleh menuduhku gila. Aku sedang sedih.
Umi nama kekasihku itu. Ia tidak memiliki ayah, tidak memiliki ibu, tidak memiliki saudara. Ayahnya mati sebagai salah satu korban DOM. Ibunya mati digerogoti kesedihan, tak tahan membayangkan kepala suaminya pecah diberondong peluru. Adiknya, adik lelakinya yang manis, tewas pada suatu hari di gedung sekolahnya yang terbakar. Pagi menjelang siang itu, gerombolan tentara tiba-tiba diserang pasukan tak dikenal. Tembak-menembak terjadi dengan sangat mengerikan. Beberapa aparat pemerintah tewas dan berakhir di tempat. Komandan regu murka, ia perintahkan anak buahnya membakar desa, menghancurkan segala yang ada dengan alasan bahwa penduduk setempat telah memberi tempat bagi para pemberontak. Penduduk desa kocar-kacir. Banyak yang tewas dihantam peluru dan hanya beberapa yang selamat, dan salah satunya adalah Umi. Seusai insiden, ia menguburkan mayat adiknya di belakang rumah, lalu pergi ke tempat yang jauh.
"Aku datang ke kota ini karena di sini aku punya seorang paman," katanya kepadaku. Ia menangis waktu itu. "Sekarang sudah kau tahu, aku tidak lagi memiliki siapa-siapa di dunia ini kecuali pamanku. Jadi, tentang sikapku yang sangat pendiam dan selalu murung, jangan kau tanyakan lagi. Sekarang, kau sudah tahu alasannya. Dan ingat, aku tidak pernah bisa sanggup menceritakan hal ini kepada siapapun. Aku tidak pernah sanggup," katanya terbata-bata, dan airmata mulai menetes dipipinya, "Aku menceritakannya kepadamu karena aku mencintaimu. Kau telah membuatku kuat."
Sejak menceritakan itu, Umi mulai bisa tertawa, bergaul dengan teman-temannya secara lebih wajar. Ia ternyata sangat menyenangkan. Tawanya renyah. Tingkahnya lucu. Aku bahagia melihat perubahannya. Tapi, aku juga menjadi sering kesal karena waktunya semakin berkurang kepadaku. Aku seperti kehilangan sesuatu yang sangat kusuka dari dirinya. Yah, terus terang, aku jatuh cinta kepadanya karena prilakunya yang aneh. Pada saat pertama kali ia tiba di kota ini, aku sering melihatnya merenung pada pagi hari di serambi rumah pamannya. Lalu, seperti takjub pada biru langit, ia seringkali berlama-lama memandang langit, tengadah dengan wajah tersenyum. Dan pada senja hari, ia melakukan hal sama. Sesekali ia juga menyanyikan lagu-lagu sedih dengan suaranya yang sangat merdu. Aku mengira ia gila pada awalnya, tapi setelah suatu kali aku menyapanya dan ia menjawab dengan sangat sopan, aku tahu bahwa ia adalah gadis yang tak biasa. Aku jatuh hati kepadanya. Sejak itu, aku mulai sering berkunjung ke rumah itu, yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah kami. Pamannya sangat senang dan suatu kali berkata kepadaku, "Nak, kehadiranmu membuatnya lebih bahagia."
Tak berapa lama kemudian, ia masuk ke sebuah akedemi perawat. Bagaimanapun, kata pamannya, ia harus mempersiapkan masa depannya. "Saya sudah tua, sebentar lagi akan pensiun. Kelak, dengan bekal ilmu yang diperolehnya, ia bisa menata dan mempersiapkan hidupnya," kata pamannya waktu itu.
Dan setahun yang lalu pamannya benar-benar pensiun. Dan pada suatu malam aku diundang pamannya ke rumah mereka. "Nak, saya sudah pensiun. Kami sekeluarga punya rencana untuk kembali ke Banda Aceh," kata pamannya memulai, "Nanti setelah kau tua, kau akan tahu bahwa usia uzur seringkali membuat kita rindu pada kampung halaman. Saya dan keluarga mungkin akan lebih merasa damai jika tinggal di sana. Lagipula, anakku satu-satunya itu sudah berada di sana sejak beberapa tahun yang lalu. Seperti kau tahu, aku bersyukur sekali atas pilihannya menjadi seorang pendidik di sana. Jadi, karena Umi belum selesai kuliahnya, kutitipkan ia padamu. Ia akan tetap tinggal di rumah ini. Kelak, jika ia memutuskan kembali ke Aceh, rumah ini kami jual. Tapi jika tidak, biarlah rumah ini untuknya."
Pada saat itu aku bergetar menyadari kebaikan hati pamannya. Dan ketika mereka berangkat, aku menangis dan tiba-tiba menjadi sadar bahwa aku sudah sejak lama menjadi bagian keluarga itu. Aku benar-benar menangis.
Dan kini, diterima dan disaksikan kabar duka yang bergetar meremuk jiwa. Seorang perempuan muda meratap berhari-hari dan akhirnya bunuh diri tepat pada detik-detik pergantian tahun. Perempuan muda itu adalah Umi, kekasihku.
Diterima dan disaksikan kabar duka yang menyebar menyiksa jiwa. Aku ingin bunuh diri.



Sore itu, ruang pengantin telah lengang. Ranjang perlahan-lahan mendingin. Pacu birahi padam. Lelaki yang dipanggil "Mas" itu menatap Dhesi, istrinya. Hujan di luar masih turun. Hening. Waktu berbenturan di setiap sudut ruangan. Selebihnya diam. Mereka berdua kembali mengenang percintaan yang baru saja selesai.
Sisa dingin dari hujan seperti berjingkat kecil, pelan-pelan, seperti langkah yang berjinjit. Hanya suara angin yang berdesir, mengatup semua bulir. Di tubuh sepasang pengantin itu, masih ada sisa peluh yang menetes, merayap, jatuh ke tempat yang paling rendah. Lelaki itu menatap peluhnya sendiri, yang mengingatkannya pada pelajaran di masa sekolah tentang hukum-hukum air. Mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Ia mendesah napas. Perlahan, lebih lambat dari detak jam. Ada semacam riuh yang terendam.
"Jam berapa, Mas?" tanya Dhesi, mengejutkan lamunannya.
"Jam setengah enam sore," setelah wajahnya melirik ke arah dinding yang bercat putih.
"Apa hujan telah reda?" tanya Dhesi. Ia berjingkat, membuka katup jendela kamar, mengintip dari celahnya. "Ya." Lelaki itu masih melihat basah yang berumah di dedaunan, mengkilapkan reranting, tanah yang lembab-peta yang menandakan hujan pernah mampir di situ.
"Adakah ceritamu tentang hujan yang sudah kelar?" istrinya seakan menantang, "Ayo dong, Mas, ceritakan aku lagi tentang itu!"
Lelaki itu masih saja mengintip dari celah jendela. Melihat sore yang mulai gelap. Ia menduga, sebentar lagi malam akan datang. Ia melihat wajah Dhesi lama. Terdiam, hampir lima menit, "Hujan yang reda, maksudmu?" Dhesi menganggukkan kepala tanda setuju.
Dan, dimulailah cerita itu: Barangkali, seseorang, mungkin dirimu, telah kehilangan sesuatu. Padahal, kau kerap menunggunya berwaktu-waktu. Bagimu, hujan adalah sebuah napas, yang mengisyaratkan sebuah ruang yang tersembunyi.
Sebagaimana dalam film-film klasik Cina, hujan selalu meninggalkan sebuah bekas. Di mana kau akan merajut ulang kenangan, mimpi, atau pijar harapan yang masih tertinggal. Bagimu, hujan bukan sekadar tumpahan air yang jatuh dari langit. Hujan merupakan pelambang, yang membuatmu terpaksa memikirkan leluhur-leluhur yang menebarkan sulur baru. Hujan yang terus memburu-buru seluruh pengetahuanmu. Yang memaksamu terus terkenang pada perahu besar dari kayu, mengarungi daratan yang telah menjelma jadi lautan. Ya, kau terus saja mengingat Nuh, yang begitu tegar sendirian mengarungi samudera. Air dingin itu akan memeluk apa saja dengan ikhlas. Mungkin sebagai potret dirimu yang tak henti-henti mengalir, melewati batas-batas pencarianmu. Hujan pulalah yang mengingatkanmu pada sebuah film Hounted Manson, ketika Eddie Murphy sekeluarga terjebak di tengah parau hujan yang deras di tengah rumah dipenuhi hantu. Hujan yang selalu menahan, dan memaksa untuk menciptakan atap-atap baru, katakanlah untuk sekadar menutupi diri agar tak basah. Atau bunyi petir di tengah langit yang getir, yang membuka ingatanmu pada sebuah perang dalam The Last Samurai, di mana potongan besi pedang beradu, mendentangkan gemerincing besi.
Ah, betapa hujan selalu memijakkan jejak yang menapak. Melalui genangan-genangan. Menciptakan lautan baru. Kau baru saja menuju rumah. Melewati jalanan yang sepertinya akrab kau lalui. Kau sedang menghitung-hitung, adakah kejutan baru yang kau dapati di rumah nanti? Sebab berulang kali, kau hanya menemui labirin kesunyian abadi, setiap kali tiba di rumah. Tak ada seorangpun yang enak diajak bicara, hal yang membuatmu terlampau cepat bosan sehingga kau ingin keluar saja dari rumah. Berjalan, mungkin sendirian, ke mana saja. Terkadang kau mengunjungi kenalan perempuanmu. Tertawa banyak-banyak, sekadar menyembunyikan gulanamu. Tetapi itupun tak kekal.
Perempuan itu cepat menghilang, ketika malam tambah hitam, justru waktu juga yang membatasi sebuah pertemuan. Mendadak perpisahan di depan mata. Ya, sudah berulang kali pula, kau berjumpa dengan perpisahan, dengan kekasihmu, misalnya.
Pertama kali kau merasa begitu kehilangan. Pertama kali, kau menyesali, mengapa cintamu tak pernah bisa abadi. Tetapi akhirnya, setelah perempuan baru datang, kau berangsur-angsur melupakan perempuan lamamu. Segalanya nampak jadi biasa. Hal-hal biasa pula, yang memakumu. Seperti juga ketika hujan selesai, kau mungkin agak sedikit menyesalinya, tetapi, toh, kau pikir kau akan berjumpa hujan yang baru juga suatu waktu.
Dan kau melintasi jalanan setelah hujan selesai. Kau melihat orang-orang membenahi segelanya. Keluar masuk dari dalam kepalamu. Beberapa wajah ada yang sempat kau kenal, mungkin di masa lalu. Begitu banyak mereka. Ketika melewati perempatan itu pula, kau mendengar percakapan dua kekasih yang bertengkar.
"Jadi apa kau lebih memilih dirinya dibandingkan aku? Apakah dirinya lebih cantik dariku?" jerit seorang perempuan. Si lelaki hanya terdiam. "Lalu, apa diriku selama ini? Apakah aku memang tak layak untuk kau cintai?" Mereka terus saja bertengkar. Membongkar keterjagaanmu. Ah, cinta! Selalu saja tak mampu dijelaskan dengan metafisika.
Pada mulanya, kau menduga, si perempuan benar-benar akan meninggalkan lelaki itu. Tetapi kau keliru, saat perempuan itu menangis dengan liris, si lelaki justru memeluknya. Mereka berpelukan rapat, dan semakin rapat. Beberapa saat kemudian, pasangan itu justru tertawa-tawa kecil. Beberapa waktu kemudian, mereka saling melumat bibir, berciuman, seolah-olah tak ada orang di sekitarnya. Kau menyaksikan itu, tetapi kau membuang pandang. Kau merasa cemburu, bukan pada prempuan itu, toh kau juga tak mengenalnya. Tetapi ternyata mereka dapat menyelesaikan masalah setelah hujan berhenti. Tidak seperti dirimu, yang tiba-tiba kalah. Tidak seperti dirimu, yang ternyata ditinggalkan kekasihmu.
Next
Mungkin, kau berpikir, lebih baik hidup tanpa cinta. Dengan begitu, kau bisa bebas berjalan dengan perempuan yang mana saja. Tanpa mesti terlibat terlalu jauh. mungkin hanya cinta sehari saja. Hubungan yang sebentar. Seperti sebuah hujan, turun dengan deras, kemudian selesai. Esok hari, masih ada hujan yang lain. Di hari yang lain juga, kau akan bertemu dengan perempuan yang lain. Justru kesetiaan yang macam itu terus tiba, hujan yang bagimu, terkadang mirip dengan perempuan. Perempuan dan hujan sama saja, ia akan selalu datang di hari yang lain, waktu yang kemudian. Yang mampu menyejukkan pandangan. Tidakkah itu sebuah kesetiaan? Seperti juga hujan di mana di dalam diri perempuan acap kau temui semacam tatapan teduh dari kornea mata, yang memintamu untuk masuk ke dalamnya, kemudian berendam lama-lama di sana. Tak peduli, jika tubuhmu nanti akan menggigil di sana.
Justru di kelengangan itu, kau seakan menemui lautan baru. Kau berkhayal seperti Nuh, berlayar di sana. Tiba-tiba kau ingat Sapardi Djoko Damono, yang menulis sajak begini: Kuhentikan hujan. Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan-ada yang berdenyut dalam diriku: menembus tanah basah, dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya matahari. Tak bisa kutolak matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga.
Tetapi hujan telah selesai, adakah yang tertinggal di sana? Selain kasmarannya yang penuh sengat birahi, yang meraba dengan tungkai lengannya, dengan jemarinya yang lentik, ke seluruh batang pohon, liuk tanah, juga daun-daun yang basah? Kau tak pernah tahu, tetapi matahari nampaknya telah malu-malu pukimak keluar di ujung langit. Cahayanya seperti menebarkan getah yang sengit. Seperti kepingin mengintip, seperti kasmaran purbamu pada perempuan itu. Ah, bukankah tadi kau bilang bahwa cinta itu melulu menipu? Tetapi mengapa rasa kangen kerap merajam, yang terkadang membuatmu tersengal, ingin mendengar suaranya, ingin menatap wajahnya, ingin menatap dengan lekat bagaimana ia menggigit bibir bawahnya dengan gigi seri atasnya ketika sedang dirundung cemas. Kau ingin melihat pipinya yang merona bundar merah, ketika kau daratkan percakapan-percakapan yang setengah lucu. Terkadang dari binary pipi merahnya, kau kepingin mencubit kecil pipinya yang rada tembem itu. Meski sebenarnya kau punya sejumlah kenalan perempuan lain di kota tempat tinggalmu, yang bisa kau kunjungi, dan kau ajak ke mana saja pergi, tetap saja terkadang terlintas pikiran pada perempuan itu.
Siapakah perempuan itu? Yang terus mengurung dirimu menjadi asing? Tidakkah kau merasa dipermainkan olehnya. Kau tak tahu, seperti ketika kau mengingat dirinya sekarang, pada saat hujan baru saja selesai. Di mana kau menapakkan kaki dengan langkah pelan-pelan, di mana tak sempat kau tampung seluruh pikiranmu yang melompat-lompat. Betapa biografi perempuan itu telah menciptakan enigma baru buatmu.
Lalu kau merasakan hujan tak melulu berkisah tentang kesetiaan, sesekali juga mendaratkan pengkhianatan. Dan bagimu juga, itu merupakan hal yang biasa. Terlebih lagi dalam hidupmu, kau mengenal dengan jelas siapa-siapa orang yang berkhianat padamu, bahkan ketika kau berikan padanya rasa percaya. Terkadang, memang menyakitkan juga, tetapi pengkhianatan itu kerapkali datang berulang-ulang sehingga kau merasa kapalan akannya.
Padahal hidupmu sendiri, tak hanya memikirkan hujan, bukan? Kau masih banyak kegiatan lainnya, seperti pergi ke tengah kota, menyelesaikan tugas-tugas kantor, pergi ke tempat teman yang masih bujangan, sama seperti dirimu. Dan juga, pekerjaanmu lainnya masih banyak, bukan hanya memikirkan perempuan itu, yang membuat batinmu nelangsa, pikiranmu tumpang-tindih, kau masih memunyai sejumlah agenda. Agenda yang kerap kau susun dengan hati-hati.
Meskipun, terkadang segala yang kau rencanakan selalu ada yang terlewat. Kau masih saja melewati jalanan yang basah itu, hujan memang telah berhenti, kau mendapati barisan orang-orang, berkerumun, mengusung bendera warna-warni, tumpah-ruah ke jalan. Orang-orang itu, bersorak-sorai, membuat jalanan macet, kau menatapnya hanya sekilas.
Tiba-tiba kau merasa mereka menjelma jadi robot, yang membawa bendera dengan warna serupa. Seketika kau ingat negeri, di mana kau dilahirkan, tanah di mana kau minum airnya, kau hirup udaranya. Negeri yang bagimu selalu mengguratkan kecemasan. Di mana harapan terus saja beranak-pinak, tumbuh, dan bersemi. Tetapi kemudian mati kembali. Kau ingat negeri yang selalu menciptakan tanah pekuburan yang luas, bagi siapa saja, negeri yang selalu menyala dengan pijaran api yang tiada henti. Negeri yang berubah jadi sebuah pom bensin, ketika ada bara yang menyulut langsung meledak. Tiba-tiba kau ingat negeri yang seperti pelampung, terus saja mengapung di lautan, tanpa bertemu pulau atau daratan. Tiba-tiba kau merasa jadi pesakitan di tanah kelahiranmu.
Dan, memang kau melihat banyak orang-orang yang sakit. Semua orang jadi sakit, sampai-sampai ketika salah seorang yang sembuh, maka mereka bilang, "Kau yang sebenarnya sakit!" Ada semacam kegilaan yang tumbuh, yang mengayuh.
Meski kau merasa, di sinilah kau dilahirkan, dibesarkan, bermain-main lepas dengan penuh kegembiraan. Kau ingat, bagaimana di waktu kecil dulu, kau bisa mengejar laying-layang yang putus ke tanah lapang, bermain bola di tengah deras hujan, main petak umpet, kelereng. Kau merasa begitu bahagia tinggal di negeri ini. Walaupun kau merasa di negerimu tak ada perang yang membunuhi orang-orang. Tetapi tetap saja, banyak kejanggalan lain yang tumbuh dengan cepat di dadamu.
Padahal, seandainya saja kau masih punya Ibu di negeri ini, kau akan mengadukannya. Kau akan menumpahkan seluruh keluhanmu. Barangkali, Ibu akan mengusap kepalamu, sehingga kau merasa teduh. Meski bagimu, Ibu biasanya hanya membisu, termangu, dan tak lagi berbicara. Padahal, kau butuh Ibu untuk menampung semua keluhanmu. Tetapi nyatanya segala nampak sia-sia, kau mungkin telah kehilangan Ibu, barangkali orang-orang yang berkerumun itu yang turut membunuhnya.
Kau masih saja berjalan, jalanan yang mengkilap seperti sebuah percikan yang menyeretmu pada sebauh masa lalu. Kau melalui tukang-tukang becak yang berjejer di mulut jalan. Setiap kali ada orang yang lewat, dengan sigap menawarkan jasanya. Kau menatap beberapa tukang becak yang duduk dengan pandangan yang kosong. Ah, sebenarnya kau ingin sekali bercerita banyak pada Ibumu. Ya, kau ingin sekali menceritakan pada Ibu, mengapa banyak orang yang tidak bekerja di negeri ini, mengapa banyak anak-anak kecil yang berkeliaran di jalan, mengapa banyak pertanyaan yang tak diselesaikan dengan sebuah jawaban.
Kau masih saja melangkahkan kaki. Jalanan masih saja basah. Kau merapatkan tubuhmu, sekadar menghangatkan diri, supaya gigil tak sampai ke pembuluh. Kegiatan yang mengingatkanmu pada sajak dari seorang penyair: aku merapatkan mantel dan krah kemeja/ orang-orang menyusun masa lalu/ yang terus tumbuh/ memasuki otakku.
Meski masih ada selusup dingin yang begitu tak terjaga, yang tak mampu kau singkirkan berulang-ulang. Bahkan ketika kau silangkan kedua lenganmu, pun pada saat kau dekap dirimu dengan seluruh waktu.
Langkahmu terhenti di sebuah tikungan. Padahal beberapa kelokan lagi, kau akan sampai di rumah. Namun kau memutuskan berdiam. Kau merencanakan sesuatu, kau ingin ke kota . Menatap lama-lama orang-orang yang berkerumun tadi. Barangkali kau akan bercakap-cakap dengan mereka, sebab kau ingat, kau melihat dirimu seperti ada di sana.
"Kemudian?" seru Dhesi seperti memburu akhir cerita, seperti ada yang tak jelas.
"Kemudian, bagaimana?" tanya si-Mas. "Ya, bagaimana tokoh "kau" dalam cerita itu?"
Si-Mas berpikir, mengintip dari celah jendela kamar yang sedikit terbuka. Di luar, ia melihat sisa basah hujan masih lekat menjilat dahan, dedaun, juga pagar besi.
@ Kedaton, Tupai 40, Bandarlampung, Maret 2004
AKU berada di rumah sakit untuk menjaga ibu mertuaku yang sedang dirawat inap selama beberapa hari. Sakit yang dideritanya sebetulnya tidak terlalu parah, hanya penyakit-penyakit ringan yang sudah lazim menimpa orang-orang tua.
Tapi, Attar Brozova, suamiku, bersikeras menginapkan emak yang sangat dicintainya itu di rumah sakit. Katanya, agar aku tidak terlalu repot mengurusinya mengingat pekerjaan rumah saja sudah menumpuk dan setiap saat harus selalu dibereskan. Di satu sisi, apa yang dikatakan suamiku itu memang benar, tapi di lain sisi, itu justru membuatku semakin repot karena aku harus bolak-balik antara rumah dan rumah sakit, antara mengurus ibu mertua dan mengurus rumah dan anak-anak.
Dan malam itu, setelah pada sore harinya ada telepon dari rumah sakit yang memberitahu bahwa kondisi kesehatan ibu mertuaku semakin parah, aku harus berada di rumah sakit untuk menjaganya. Suamiku kebetulan tidak bisa ikut. Ada urusan yang harus diselesaikannya berkaitan dengan pekerjaan kantor.
Untuk menyelamatkan diri dari serbuan jengah, aku keluar dari ruangan di mana ibu mertuaku dirawat, pada saat beliau tertidur, tentu saja. Aku duduk di sebuah bangku yang khusus disediakan bagi para pembesuk. Sekilas kuamati orang-orang yang lalu-lalang dengan wajah-wajah cemas, sedih, putus asa, dan menjadi sadar: alangkah aneh rumah sakit. Di situ, keriangan hidup benar-benar terampas.
Tak jauh dari tempatku, duduk juga dua wanita cantik yang tampak sedang asyik mengobrol. Mereka agaknya terlibat dalam suatu pembicaraan menyenangkan, tapi tawa yang sesekali meledak dari mulut mereka, sungguh membuatku sedikit tidak nyaman. Apakah gerangan ihwal yang bersarang di otak mereka sehingga di rumah sakitpun masih bisa cekikikan? Apakah mereka ke rumah sakit tidak untuk membesuk keluarga atau teman yang sakit?
Aku mendadak kehilangan rasa hormat kepada dua wanita itu. Tapi, entah mengapa, aku justru merasa tergoda untuk mengamati tingkah dan pemampilan mereka, dan berusaha sebisa mungkin menguping pada apa-apa yang mereka bicarakan. Seorang dari mereka, duduk di sebelah kiri arahku memandang, memiliki rambut panjang, hidung mancung, ada kacamata bertengger di atas hidungnya dan matanya yang angkuh tampak lebih teduh di balik kacamata itu. Yang seorang lagi tampak sangat anggun dengan rambut sebahu yang dipotong dan disisir rapi, dagunya sedikit lancip, berleher jenjang. Mereka berdua sama-sama berkulit putih, belum ada kerut-merut dikulitnya, memiliki payudara besar dan masih membusung, perut langsing dan wajah mereka berseri-seri seperti tak ada marabahaya dan kesedihan-kesedihan yang berusaha merusak wajah itu. Diam-diam aku merasa iri. Aku tidak lagi secantik mereka. Perutku sudah penuh dengan lipatan-lipatan lemak. Pada wajahku sudah mulai bermunculan bintik-bintik hitam yang menyebalkan. Dan, orang-orang berkata bahwa mereka sudah tidak bisa lagi menemukan kecantikanku yang berdelau pada saat masih muda. Ah, aku jadi benci pada dua wanita itu. Tapi tidak. Perasaan buruk itu tidak boleh kubiarkan melilit jiwaku. Maka, sambil berusaha menata perasaan-perasaan kurang ajar, aku mencoba mendengar apa-apa yang mereka bicarakan.
"Kerja di mana?" pemilik rambut panjang bertanya.
"Di bank. Kamu tahu, aku senang sekali dengan pekerjaan itu. Selain memang sesuai dengan latar belakang pendidikan yang kumiliki, bekerja di bank sudah menjadi impianku sejak kecil," sahut pemilik dagu lancip dengan kebanggaan yang berlebihan.
"Oh, begitu ya," kata si empunya hidung mancung takjub, lalu bertanya lagi, "Kuliah di mana dulu?"
"Di Universitas Diponegoro, di Semarang."
"Angkatan berapa?"
"Sembilan dua."
"Wow, kebetulan banget. Kamu kenal dong sama Jonggi Monakov?"
"Oh, kenal. Kenal sekali. Dia teman baikku sewaktu kuliah. Asyik tuh berteman dengan dia. Orangnya santun, ramah, cerdas dan suka ngeguyon. Dia juga tampan. Kamu kok bisa kenal sama dia?"
"Dia teman SMA-ku. Kami sangat akrab dan aku selalu yakin bahwa dialah satu-satunya lelaki paling baik yang pernah kutemui. Dia sangat penyayang sih, sangat perasa. Sesudah dia kuliah, kami masih terus bersahabat lewat surat dan email. Waktu itu aku kuliah di Medan.
"Tapi..." kata kedua wanita itu serentak, tapi segera diambil alih oleh pemilik hidung mancung, "Dia sekarang di penjara. Dia membunuh istrinya."
"Yah, aku tahu. Aku sedih sekali mendengar kabar itu."
Lalu, kedua perempuan itu terdiam. Ada kesedihan yang menguar dari wajah mereka. Dan, dengan langkah getir, aku meninggalkan mereka dan kembali ke ruangan dimana ibu mertuaku dirawat. Tapi, pada saat kusadari pikiranku sangat tersita oleh dua perempuan itu, aku tiba-tiba merasa seperti mengenal mereka, seperti pernah bertemu dengan mereka. Tapi dimana? Ah, persetan dengan mereka. Aku justru terkenang pada Jonggi, lelaki yang baru saja mereka bicarakan. Lelaki itu adalah bekas kekasihku. Aku pernah mencintainya dengan gila. Dia pernah mencintaiku secara membabi-buta. Tapi jika ingat penyimpangannya, ah...
Keesokan harinya, segera setelah tiba di rumah, kubuka kembali album-album lama yang menyimpan foto-foto keluarga, teman-teman, dan Jonggi. Dan benar, dua wanita yang kutemui di rumah sakit itu adalah Miralev dan Yola. Di album itu masih tersisa beberapa lembar foto mereka. Meski telah banyak yang berubah dalam hal penampilan, tapi wajah mereka tidak jauh berubah.
Dulu, Jonggi seringkali bercerita tentang dua perempuan ini kepadaku karena, katanya, ia ingin jujur tentang masalalunya. Ia tidak ingin aku kecewa jika kelak mengetahui bahwa ia telah memiliki banyak gadis yang dipacarinya jauh hari sebelum bertemu aku. Dan, kejujuran itulah yang membuatku percaya bahwa ia lelaki yang baik. Sering memang aku merasa cemburu jika kuminta padanya untuk membakar saja foto-foto itu, tapi ia selalu berkata bahwa tidak baik membakar foto orang lain. Hal itu bisa membuat kita mengalami kesialan-kesialan dan sebaliknya, menjaga potret orang bahkan yang kita benci, bisa membawa suatu keberuntungan di setiap hal yang kita lakukan. Aku tidak mau berdebat. Meskipun pendapatnya itu terasa sangat konyol, aku berusaha menerimanya, menghargainya sebagai tanda bahwa Jonggi memang baik. Tapi, aku ternyata salah. Ia justru pergi dan menikah dengan perempuan lain, perempuan yang kini telah mati di tangannya, dan kini ia harus membayarnya dengan derita panjang. Aku sebetulnya masih merasa cinta pada Jonggi, dan aku sempat hampir pingsan ketika berita buruk yang menimpa dirinya kudengar dari berita kriminal di salah satu televisi. Dan, pertemuanku dengan dua perempuan itu, sungguh membuatku merasa rindu pada Jonggi. Haruskah aku menemuinya ke penjara?
Tapi, mengapa kedua wanita itu tidak saling mengaku bahwa mereka adalah mantan pacar Jonggi. Malukah mereka disebut pernah pacaran dengan seorang yang kini meringkuk di penjara? Benarlah apa yang dikatakan Jonggi: Miralev dan Yola bukan perempuan yang baik. Pantas saja Jonggi meninggalkan mereka dan jatuh kepelukanku sebelum akhirnya hancur setelah menikah dan membunuh istrinya.
***
AKU berada di rumah sakit untuk menjaga adik iparku yang harus di rawat inap selama beberpa hari. Ulinya, adik iparku itu, baru saja menjalani operasi pengangkatan usus buntu. Karena bosan berada di ruangan, aku keluar dan duduk-duduk di sebuah bangku yang disediakan khusus bagi para pembesuk. Aku merenung tentang perjalanan hidupku yang getir. Meski secara materi suamiku bisa menghidupiku lebih dari cukup, tapi bathinku selalu tersiksa. Hingga kini, dalam usia pernikahan kami yang sudah berlangsung lima tahun, kami belum juga memiliki anak. Aku benar-benar menderita, kesepian dan sering mengutuk diri mengapa pada waktu muda dulu aku sering kali melakukan perbuatan-perbuatan najis. Ini mungkin kutukan, hukuman yang diberikan Tuhan atas dosa-dosaku.
Untunglah perasaan sedih itu tiba-tiba terhenti karena kehadiran seorang perempuan dan langsung duduk di sebelahku. Perempuan itu mungkin masih sebaya dengan aku. Dia sangat cantik. Kami lalu berkenalan, saling mengobrol. Dia bernama Miralev, sangat menyenangkan, suka bercerita, dan gampang tertawa. Beban yang menghimpit dadaku terasa sedikit longgar. Setelah pembicaraan melompat-lompat dari satu hal ke lain hal, kami lalu masuk pada pembicaraan yang lebih serius. Aku bertanya dimana dia bekerja, dan pertanyaan itu menyeret kami pada suatu peristiwa kebetulan. Dia berkata bahwa dia bekerja di sebuah bank, sebuah pekerjaan yang memang sudah dicita-citakannya sejak kecil, dan itu sangat sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dia tamat dari sebuah universitas di Jawa Tengah. Aku kaget. Di universitas itulah dulu Jonggi Monakov menuntut ilmu. Ketika kutanya, dia berkata bahwa dia mengenal Jonggi dengan sangat baik. Dia bahkan memuji-muji mantan pacarku itu agak berlebihan. Dia lalu bertanya bagaimana aku bisa mengenal Jonggi. Kukatakan, Jonggi adalah teman baikku sewaktu SMA, tapi aku tidak memberitahu bahwa Jonggi adalah mantan pacarku. Aku malu jika harus mengaku pernah berpacaran dengan seorang pembunuh. Biarlah kuakui ia sebagai teman dan itu cukup membanggakan karena pada saat itu, Jonggi masih lelaki yang gagah dan selalu menjadi idaman gadis-gadis. Kalaupun saat ini hidupnya hancur, itu barangkali karena hidup tak selalu menguntungkan dan aku tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya yang sial itu.
Tapi, pembicaraanku dengan Miralev tiba-tiba sedikit terganggu karena mataku tertumbuk pada seorang perempuan yang duduk di bangku lain tak jauh dari tempat kami. Perempuan itu barangkali sudah duduk sejak lama di tempat itu. Dan rasa-rasanya aku seperti pernah bertemu dengan perempuan itu, seperti mengenalnya. Dan, ya, setelah berusaha mengingat-ingat, akhirnya kutahu bahwa perempuan itu adalah Maryanka. Dia adalah mantan pacar Jonggi, sebelum aku.
Dulu, Jonggi seringkali bercerita tentang perempuan itu dan berkali-kali menunjukkan fotonya kepadaku. Jonggi bilang, ia sangat menghargaiku sebagai seorang kekasih. Oleh karena itu, sifatnya yang suka menunjukkan foto perempuan itu adalah sebentuk kejujuran bahwa ia pernah berpacaran dengan perempuan lain dan itulah caranya membuatku yakin bahwa akulah perempuan terakhir baginya. Tapi, aku menaruh dendam yang dalam pada perempuan itu, sebab dengan alasan yang terlalu dibuat-buat, Jonggi selalu berusaha menolak jika aku menyuruhnya membakar foto itu. Dan benar, Jonggi memang pembohong. Dia malah menikah dengan perempuan lain. Tapi sayang, istrinya meninggal di tangannya.
Tapi, urusanku dengan Maryanka belum selesai. Maka, ketika aku berkata kepada Miralev bahwa Jonggi berada di penjara, sengaja kukeraskan volume suaraku agar perempuan itu bisa mendengar, agar dia tahu bahwa mantan kekasihnya adalah orang bejat.
***
RUMAH sakit selalu menjadi tempat yang sangat memuakkan bagiku. Aku selalu merasa mual jika berada di rumah sakit. Tapi, malam itu aku harus berada di rumah sakit untuk menjaga adik lelakiku yang sedang dirawat karena kecelakaan. Adik lelakiku itu memang sangat nakal, sering ugal-ugalan jika sedang berkendara di jalan raya, dan akibatnya, ia bertabrakan dengan sebuah truk. Untung nyawanya masih selamat. Dulu, adik lelakiku itu pernah kecanduan obat. Dan, setelah berhasil terbebas dari bubuk setan itu melalui proses yang sangat panjang, aku dan suamiku selalu berusaha memenuhi setiap keinginannya asalkan dia tidak kembali lagi mengkonsumsi narkoba. Dia minta dibelikan sepeda motor, kami memenuhinya. Tapi sejak itu, dia malah ugal-ugalan di jalan, acap melakukan balapan liar bersama teman-temannya dan terakhir kuketahui dia malah sudah mabuk-mabukan lagi dengan menenggak alkohol. Dia benar-benar membuatku pusing.
Malam itu, karena sudah tak tahan berada di ruangan dimana adik lelakiku dirawat, aku keluar untuk menghirup udara segar. Aku duduk pada sebuah bangku dan di situ telah duduk juga seorang perempuan cantik, seusiaku. Kami berkenalan. Kebetulan sekali, dari pembicaraan kami yang entah kenapa bisa berlangsung dengan sangat lancar, terungkap bahwa ada ikatan persahabatan tak langsung antara aku dan perempuan. Dia ternyata sangat akrab dengan Jonggi Monakov, pacarku sewaktu kuliah. Perempuan bernama Yola itu berkata bahwa Jonggi adalah teman baiknya sewaktu SMA. Peristiwa kebetulan itu tentu saja membuat kami semakin akrab.
Aku sebetulnya ingin sekali berkata bahwa Jonggi adalah mantan kekasihku. Tapi, karena tiba-tiba aku melihat seorang perempuan yang juga sedang duduk-duduk tak jauh dari tempat kami, kuurungkan niat itu. Masalahnya, aku sangat kenal pada perempuan itu. Dia bernama Maryanka. Aku pernah beberapa kali bertemu dengan dia. Jonggi seringkali bercerita tentang perempuan ini kepadaku. Dia adalah mantan pacarnya. Jonggi memang begitu, selalu jujur tentang perempuan-perempuan masalalunya. Dan, setiap kali ia selesai menceritakan perempuan-permpuannya, ia selalu mengatakan kalimat yang membuatku nyaman, "Kamu adalah perempuan terakhir bagiku." Dari sekian banyak perempuan yang pernah dipacarinya, katanya, aku merupakan perempuan terbaik. Tapi, Jonggi justru menikah dengan perempuan lain. Perempuan yang kini telah mati dibunuhnya.
Dulu, aku selalu ingin berkenalan dan berbagi cerita dengan Maryanka, tapi hal itu tidak pernah bisa terjadi. Setiap kali kami bertemu di jalan, di mal, atau di mana saja, Jonggi selalu mengajakku mengelak agar dia tidak sempat melihat kami. Kata Jonggi , ia tidak ingin membuat perempuan itu lebih terluka.
Aku sebetulnya masih mencintai Jonggi hingga saat ini. Aku seringkali berpikir untuk mengunjunginya di penjara. Tapi itu tidak mungkin. Aku sudah mempunyai dua anak yang lucu-lucu dan memberiku kebahagiaan yang dasyat. Suamiku juga sangat baik. Apa yang kuterima saat ini adalah anugerah luar biasa. Suamiku tidak pernah menyakitiku meskipun sejak awal-awal pernikahan kami dia sudah tahu bahwa aku tidak gadis lagi.
***
TUAH, itulah kisah yang dituturkan tiga sahabat kepadaku. Mereka bercerita dengan penuh kesedihan, disertai isak, seolah-olah ingatan akan peristiwa itu adalah bahaya tak tertanggungkan. Dari cerita itu kamu sudah bisa mereka-reka betapa cinta ketiga sahabatku itu pada Jonggi. Cinta yang sangat pelik, sama rumitnya seperti cintaku padamu yang tak pernah bisa kupahami. Dan, meskipun kerap dihantui rasa bersalah yang akut, aku tetap merasa bangga karena hingga kini aku masih tetap menjaga rapi rahasia itu dan tidak membeberkan kepada mereka bahwa sebetulnya Jonggi memacari mereka sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Aku juga mengenal Jonggi. Dia adalah rekan kerjaku di kantor tempatku bekerja, sekarang. Dulu, sebelum Jonggi masuk bui, mereka bertiga pernah datang ke kantor kami dan sejak itulah aku berkenalan dan menjadi bersahabat dengan mereka. Bahkan, akulah yang dimintai tolong oleh Jonggi untuk mengatur jadwal pertemuan mereka dan mengaturnya sedemikian rupa agar tidak bertabrakan jika sesekali mereka ingin bertemu dengan Jonggi.
Sungguh, aku merasa bangga bisa menjaga dengan rapi rahasia itu. Aku tidak ingin melukai mereka, tidak ingin membuat mereka benci pada Jonggi. Kasihan Jonggi jika harus dibenci oleh kekasih-kekasihnya apalagi pada saat remuk seperti sekarang ini. Dan, tahukah kamu kenyataan pedih di balik semua itu?
Suatu hal yang mengerikan memang, Tuah. Tapi, kamu harus tahu karena kisah itulah yang menjadi sedikit jawaban mengapa aku selalu menolak menikah denganmu, dan kini malah pergi meninggalkanmu.
Ingatkah kamu setiap kali kita bercumbu, aku selalu berusaha meringkusmu, dan tanpa sadar, aku selalu mencakar punggung dan lehermu. Sungguh, pada saat kita bercinta, aku ingin kamu menamparku, menjambak rambut, bahkan bila mungkin mancambuk, menendang dan mencakari tubuhku.
Apa yang terjadi pada ketiga sahabatku itu adalah hal yang sebaliknya. Sayang sekali, memang, mereka bertiga adalah orang-orang yang tidak terlalu peduli pada moral. Selama berpacaran, ketiga sahabatku itu sudah kenyang dengan pengalaman-pengalaman seksual bersama Jonggi, dan selama itu pulalah mereka mengalami penderitaan. Sebagaimana yang mereka tuturkan, setiap kali bercinta, Jonggi selalu menampar wajah, menjambak rambut, menghantukkan kepala mereka ke dinding kamar, juga kekerasan-kekerasan lainnya.
Ketika Jonggi berkhianat, ada memang rasa senang dan lega yang menyusup ke dalam dada mereka karena terbebas dari monster jahat. Tapi, ketika perasaan cinta bersuara dan bergetar dengan lebih kencang, mereka sedih, menangis, dan ingin sekali membebaskan Jonggi dari penyakitnya itu.
Tapi syukurlah, atas anjuranku, lambat laun mereka mulai sadar akan posisi mereka dan tidak lagi pernah menemui Jonggi. Bahkan, ketika kabar tentang pembunuhan yang dilakukan Jonggi pada istrinya menyebar, tak satupun dari mereka yang panik dan tetap mencoba bersikap tenang, meski kutahu mereka sangat terluka. Tapi sejak peristiwa di rumah sakit itu, mereka bertiga kembali memikirkan Jonggi dan seringkali berpikir untuk mengunjungi Jonggi di penjara.
Tuah, aku percaya, Jonggi tidak bermaksud membunuh istrinya. Ia melakukan itu karena cinta. Penyimpangan seksual yang dideritanya itu mungkin tidak pernah dianggapnya sebagai sebuah kekerasan, tapi dilakukannya sebagai bentuk ungkapan cinta terdalam.
Sekarang, aku ingin bertanya sama kamu, mungkinkah kita menikah karena aku juga mengidap penyakit yang sama. Sekarang, aku telah memutuskan langkah apa yang harus kutempuh. Aku mungkin akan berusaha mencari suami seperti Jonggi. Kupikir, jika sadis bersatu dengan masokhis, akan ada pengertian yang melebihi cinta antara mereka dan itu tidak akan pernah bisa menyebabkan kematian seperti yang terjadi pada istri Jonggi.
Dan, anggaplah sekarang ini adalah saat-saat di mana aku harus pergi, melenggang dengan sangat sedih karena harus meninggalkanmu. Jangan pernah lagi bertanya pada perenungan-perenunganmu mengapa aku pergi. Pada saat terakhir seperti sekarang ini, aku hanya bisa memberimu jawaban: aku pergi meninggalkanmu karena aku terlalu mencintaimu. Salam.
***
TUAH melipat kembali sepucuk surat yang diterimanya siang tadi. Dada lelaki itu bergemuruh, sesak seperti dilanda badai gurun, tubuhnya lemas, dan ia longsor di akhir penantian yang tragis. Ketika matanya banjir, ia mengenang saat kekasihnya itu pergi meninggalkannya beberapa tahun yang lalu, tanpa pesan. Kini, ia harus bersiap untuk berdamai dengan kesedihan dan kesepiannya.
***

Tidak ada komentar: